Kamis, 27 April 2017
DOA BUKAN LAMPU ALADIN
Dahulu, ia mubaligh populer di kalangan anak muda. Suaranya keras, baik volume maupun isinya. Kini, ia datang kepada saya dengan "terseok-seok", hampir seperti "rongsokan tubuh". Wajahnya muram, kekecewaannya begitu besar, sehingga tidak menyisakan sedikit pun ruang pada air mukanya untuk harapan. Ia kecewa kepada pemerintahnya, karena tidak memelihara "fakir miskin dan anak-anak terlantar." Ia kecewa kepada jamaahnya. Dulu, mereka mengelu-elukannya. Kini, tak seorang pun di antara mereka menegurnya. Ia kecewa kepada organisasinya. Hanya karena sakit, bukan saja tidak dibantu, ia malah dicoret dari daftar anggota. Dari seorang "somebody", sekarang ia dijatuhkan menjadi "nobody". Dari seorang tokoh yang selalu disapa, menjadi bukan siapa-siapa. Ia kecewa kepada agamanya. Agama tidak membantunya mengatasi kesulitan hidupnya. Akhirnya, ia kecewa kepada Tuhan. Dengan apiknya KH Jalaludin Rakhmat menjadikan kisah di atas sebagai pembuka dari bukunya "Doa Bukan Lampu Aladin". Melalui kisah itu, Kang Jalal hendak menyampaikan kondisi sebagian di antara kita, atau bahkan kita, yang merasa kecewa dengan Tuhan. Kisah mubaligh di atas adalah potret dari kita yang merasa telah berdoa namun tidak kunjung "dijawab" oleh-Nya. Tentu ada banyak orang seperti mubaligh di atas. Semula, kecewa kepada kehidupan, kemudian kecewa kepada Tuhan. Mungkin, mubaligh di atas ialah potret dari orang miskin yang selalu diperlakukan tidak adil oleh masyarakat di sekitarnya. Mahasiswa cerdas yang dijatuhkan dosen yang iri akan kecerdasannya. Perempuan berjilbab yang dikhianati oleh suaminya, yang dahulu terkesan saleh dan alim. Mereka semua sampai pada kesimpulan: berdoa itu tidak perlu. Kesulitan hidup tidak akan pernah selesai dengan doa. Kang Jalal menyesalkan sikap demikian. Menurutnya, mereka lupa untuk meninjau kembali konsep doa. Doa selama ini dianggap sebagai mantra magis untuk mengendalikan alam semesta. Sedangkan Tuhan, dalam doa, dianggap oleh kita sebagai kekuatan gaib yang harus tunduk kepada kemauan kita. Ia (Tuhan) harus memberi ketika kita meminta. Pada saat itu juga, sesuai dengan keinginan kita. Jika demikian halnya kita memandang konsep doa, maka doa tak ubahnya mirip lampu Aladin, dan Tuhan menjadi jin. Saat kita berdoa, Tuhan harus keluar untuk bersimpuh di depan kita, "Tuan, katakan kehendak Tuan." Karena itu, ketika Tuhan tidak memenuhi kehendak kita, kita marah kepada-Nya. Kita kecewa dan segera membuang lampu Aladin itu. Saya tercenung takkala membaca artikel Kang Jalal tersebut, sekaligus malu. Selama ini saya beranggapan bahwa doa adalah mantra magis yang menyelesaikan seluruh masalah yang tengah membelit. Memang benar bahwa kita dianjurkan berdoa ketika menghadapi masalah. Namun, berdoa tanpa berupaya keras hanya memposisikan doa sebagai mantra magis. Saya pernah mempunyai kawan yang baru lulus Aliyyah tahun kemarin. Ketika menghadapi UAN, maka ia rajin bangun tengah malam, wiridnya pun panjang nan terlihat melelahkan, dalam doanya ia menangis, "curhat" kepada Tuhan. Sayangnya, usahanya itu tanpa dibarengi dengan upaya lainnya. Ia tidak pernah belajar. Hasilnya, nilai UAN-nya kurang memuaskan. Untung saja ia berhasil lulus. Sesaat setelah ketulusan, kawan saya itu bercerita, bahwa Tuhan tidak mengabulkan doanya. Mengutip Kang Jalal, kawan saya sedang memposisikan doa sebagai lampu Aladin, dan Tuhan sebagai jinnya. Kawan saya sedang mengidap penyakit kejiwaan dalam beragama. Mengapa? Saya pernah menulis artikel mengenai ciri-ciri beragama yang menyebabkan gangguan kejiwaan. Salah satunya ialah cara beragama yang menjadikan seseorang tidak berpikir realistis, menolak realitas. Agama dianggap sebagai mantra magis yang mampu mengeluarkannya dari persoalan hidup tanpa disertai dengan usaha yang nyata. Seharusnya saya tidak memandang konsep doa serendah itu. Saya khilaf bahwa Nabi Zakaria menikah pada umur 20 tahun. Sejak itu, setiap hari Nabi Zakaria berdoa agar dikaruniai anak. Meski terus berdoa kepada Tuhan selama 80 tahun, doanya tidak juga terkabul. Lalu bersikapkah Nabi Zakaria seperti halnya saya? Nabi Zakaria tidak pernah berhenti berdoa. Ia tidak pernah kecewa kepada Tuhan. Nabi Zakaria tidak memandang konsep doa serendah saya memandangnya. Saya merenung. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan doa seorang Nabi? Pertanyaan saya mendapatkan jawabannya pada satu hadis qudsi. "Tuhan berfirman kepada para malaikat: "Di sebelah sana ada seorang hamba-Ku yang banyak berbuat dosa, berdoa kepada-Ku. Aku bosan mendengarnya. Segera kupenuhi permintaannya. Di tempat lain ada seorang hamba-Ku yang saleh berdoa kepada-Ku. Tapi kutangguhkan permintaannya. Aku senang mendengar rintihannya." Saya menangis sejadi-jadinya. Selama ini saya telah berburuk sangka terhadap Tuhan. Saya melupakan untaian kata hikmah dari Imam Ali Zainal Abidin. Syahdan, Beliau berkata, "Bila anda ingin tahu posisi anda di sisi Tuhan, lihatlah di mana posisi Tuhan di hati anda." Saya ingin Tuhan memperhatikan saya, tetapi saya lupa untuk memperhatikan "keinginan" Tuhan. Ketika saya berdoa, saya bak membawa senjata yang ditodongkan kepada Tuhan. "Beri saya atau saya tembak!" Atau seperti Kang Jalal, saya mengusap lampu Aladin sembari berharap Tuhan keluar dan mengabulkan seluruh permintaan saya. Jadi, sekali lagi, Kang Jalal benar. "Sebab Doa Bukan Lampu Aladin".
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dewagilang98/kh-jalaludin-rakhmat-doa-bukan-lampu-aladin_5528730af17e6164508b456e
DETAIL BUKU
Judul : Doa Bukan Lampu Aladin
Penulis : Jalaluddin Rakhmat
Penerbit : Serambi
Harga Resmi: Rp. 38.000
Anda Bayar: Rp 30.000 (belum ongkir)
HP/SMS: 081804030020/081915467585
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar